Minggu, 13 November 2011

Masa Lalu yang Datang Kembali -- Part I


Masa Lalu yang Datang Kembali


            Kedatangan tukang pos di kost ku pagi ini bagaikan petir di siang bolong. Namun menurutku sepertinya ungakapan yang paling pas adalah kolam renang di gurun Sahara. Kedatangannya sudah mengganggu jadwal hibernasiku. Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu, dan aku sudah sengaja meng-cancel segala jadwal hari ini untuk tidur pulas di kamarku yang nyaman. Ia datang membawa sepucuk surat tanpa pengirim. Awalnya aku malas sekali membukanya. Yah, hanya sepucuk surat yang beramplopkan warna putih, tanpa pengirim, dan didalamnya pun hanya terdapat selembar surat warna biru muda.
            Awalnya aku ragu untuk membukanya. Apa benar ini surat untukku. Di jaman serba modern ini biasanya orang sangat enggan bahkan tidak mau lagi menggunakan jasa tukang pos. Mereka lebih memilih telepon seluler yang lebih praktis dan lebih cepat.
            Apa mungkin surat ini salah kirim? Tapi mengingat alamat penerimanya, jelas sekali surat ini untukku. Tak mungkin sekali surat ini dari orang tuaku karena kami selalu menggunakan telepon untuk berkomunikasi. Ataupun dari kampusku tempat aku kuliah, mengingat warna kertas suratnya yang biru muda. Maka, aku putuskan untuk membukanya.
            Tulisan tangan yang cukup bagus , pikirku. Suratnya pun wangi mawar, bau yang sangat kusukai. Dan hey! Di dalamnya terdapat kuntum mawar putih yang jatuh. Ada 7 kuntum. Apa maksudnya?
            Dear, cengeng.
            Apa? Cengeng? Sepertinya aku familiar dengan kata-kata itu. Nama itu bukan panggilanku saat SD, SMP, SMA, maupun kuliah. Hanya ada satu orang yang memanggilku demikian. Ah, tapi masak iya pengirimnya adalah dia?
            Rasa penasaran yang tinggi membuatku memutuskan untuk segera membaca surat dengan tulisan yang terlalu bagus jika pengirim surat itu adalah dia.
            Masih ingatkah kau padaku? Atau karena sampai sekarang kau masih cengeng, semua orang jadi memanggilmu begitu? Tak ingatkah kau, bahwa kau sudah berjanji untuk tidak sering menangis, agar hanya aku yang bisa memanggilmu cengeng. Ya, hanya aku wahai gadis poni.
            Tidak! Hanya dia yang selalu berkelakar bahwa hanya dia yang boleh memanggilku cengeng. Dan hanya dia yang sering menggodaku dengan sebutan gadis poni. Aku menghentikan sejenak bacaanku. Tapi….
            Sepertinya kau sudah tahu aku ini siapa. Dan pasti kau sangat bingung sekarang kenapa aku menulis surat untukmu. Nggak usah bingung, bodoh! Kau kangen padaku,bukan? Makanya aku merasa seperti ada suara langit yang menyuruhku untuk menulis surat ini.  Bagaimana kabarmu sekarang? Terpisah 11 tahun membuatku tak bisa membayangkan bagaimana rupamu saat ini.
            Apakah kamu masih suka menguncir kuda rambutmu dengan poni yang selalu membuat mata belo milikmu sulit untuk ku tatap? Apakah kamu sampai sekarang masih suka ngambek saat aku memanggilmu dengan nama Claudia, bukan Kiky? Apakah kamu sampai sekarang masih suka belepotan saat makan es krim? Dan apakah kamu tetap seorang gadis kecil yang menggemaskan dan takut dengan makhluk yang bernama kucing? Begitu banyak pertanyaan tak habis tentangmu melintas di alam pikiranku.
            Aku masih sangat ingat kejadian itu. Saat sepulang latihan karate aku melihatmu menangis dikejar kucing hingga kamu terjatuh ke selokan. Aku sangat khawatir saat itu, kau tahu? Aku segera berlari menghampirimu, membantumu keluar dari selokan dan menggendongmu pulang. Taukah kamu? Saat itu aku sangat khawatir terhadapmu. Kamu terluka karena cakaran-cakaran kucing dan kepalamu berdarah terbentur selokan. Aku sudah tak menghiraukan lagi baju karate ku yang basah akan tangismu dan terkena noda merah darah karena darah yang mengalir di pelipismu.
            Andai kau tahu, ingin sekali rasanya saat itu aku menggantikan rasa sakitmu. Orang tuamu tak ada di rumah. Dan kamu terus menangis dan merengek kesakitan memanggil mamamu. Aku berusaha menenangkanmu dan mengobati lukamu. Tapi kau terus saja menangis. Hingga saat iu aku membelai rambutmu dan kau berhenti menangis lalu tidur di pundakku. Aku senang sekali saat itu. Aku seperti melihat bidadari yang terlelap dengan mata indah yang membawa kesejukan Surga.
            Bidadari yang terlelap dengan mata indah yang membawa kesejukan Surga? Apa maksudnya? Sepengetahuanku, kau bukan tipe yang yang romantis. Umur kita yang hanya terpaut 3 tahun membuat kita saling tak mau mengalah. Padahal kau tahu sendiri, kamu yang lebih tua dan kamu laki-laki. Aku sering menangis gara-gara aku berebut mainan denganmu, dan kamu yang suka menakut-nakuti dengan anak kucing. Lalu peristiwa itu terjadi dan sikapmu mulai berubah denganku. Kau menjadi kakak yang baik dan tak lagi membawa anak kucing ke rumahku. Tapi hal itu tak belangsung lama, karena kau harus pindah ke kota lain karena papamu dipindah tugaskan oleh kantornya.
            Kau tahu? Aku sedih sekali waktu itu. Tak mau makan, tak mau keluar kamar. Selalu menangis. Meski pun kamu sering membuatku jengkel, tapi kau juga sering menghiburku dengan caramu yang aneh. Aku benar-benar kehilangan saat itu. Aku sudah berusaha menghalangi jalanmu untuk pergi. Aku bahkan menangis. Biasanya saat aku menangis kau akan menurut keinginanmu. Namun saat itu kau malah mempercepat langkahmu, meninggalkan aku sendiri di sini. Dan sekarang kamu datang lagi ke kehidupanku. Karena masa lalu kita, atau kau memang benar-benar mencariku selama ini?


*****


BERSAMBUNG.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komennya :)