Masa
Lalu yang Datang Kembali--Part II
“Ky,
loe kenapa sih? Hello, apakah sang otak masih nangkring di kepalanya nona
Kiky?”
“Apaan sih loe Vann, nggak lucu!”
sahutku sambil menyeruput dalam-dalam lemon-ice ku sampai habis.
“Dari tadi loe nglamun mulu. Kenapa
neng? Nggak sadar ya, tuh pangeran loe ngeliatin tuh dari tadi. Biasanya loe
histeris gitu, kenapa sekarang jadi melempem sih”, kata Vannda sambil
memukulkan gulungan kertas ke kepalaku. Aku tertawa kecil. Vannda memang belum
sempat kuceritakan tentang surat beberapa hari lalu.
Sialan juga nih anak, seenaknya aja dia
nyebut cowok itu “pangeranku”. Tapi memang iya sih. Dulu aku pernah nge-fans berat
dengan dia. Dia kakak tingkat kami di kampus. Dia panitia ospek di kampus kami.
Cowok yang cool dengan senyum dan tatapan mata yang perfect. Dulu aku termasuk
orang yang histeris saat ketemu dia dari jauh sekalipun. Sekarang? Gak tahu
kenapa aku jadi mundur perlahan dari Ramaniac, sebutan untuk para fans-nya kak
Rama.
Tapi apa benar yang dibilang Vannda
kalau dia daritadi ngeliatin aku melulu? Aku pun melirik dia. Tampaknya dia
asyik mengobrol dengan temannya. Kalau diperhatikan, dia selalu nampak
kharismatik dilihat darimana pun. Dia juga suka tersenyum, apalagi dengan satu
lesung pipit di pipi kirinya. Mengingatkan aku tentang….
Oh, Shit!! Dia melihat ke arahku.
Buru-buru aku membuang muka dan menarik tangan Vannda untuk keluar dari food
court dengan tatapan Oh-my-God nya karena pesanan fried potatoes nya baru saja
datang.
Saat Vannda melotot, langsung deh
aku keluarkan jurus andalanku. Cokelat. Yah, cewek mungil dengan pipi yang
chubby itu penggila cokelat apalagi cokelat impor. Berkurang satu deh cokelat
pembelian om dari Paris. Sedihnya.. :'-(
****
Kamar kost gue, pukul 09:00 p.m
Lelah sekali rasanya setelah
seharian mengerjakan tugas yang deadline nya tinggal beberapa hari lagi. Mataku
lagi-lagi tertumbuk di meja belajar. Surat itu masih tergeletak di sana. Hmm,
dia. Seperti apa dia sekarang?
Cengeng-ku,
jika kamu berkenan, temui aku hari Sabtu sore di taman kompleks perumahan dekat
kampus. Jangan lupa, aku memakai sweater warna cokelat dan syal hitam. Lama
sekali aku tak melihatmu. Mungkin ini bukan ajakan yang romantis, tapi maukah
kamu menemuiku? Dari seseorang yang masa kecilnya kau warnai dengan keindahan.
Hmm, kata-kata terakhir dalam surat
itu masih terngiang-ngang di otakku. Kamu, bagaimana kabarmu sekarang? Apakah
matamu masih berwarna cokelat dengan sorot yang begitu dalam, tenang dan
membuat siapa saja tenggelam di dalamnya? Atau mungkin kamu menjadi cowok
berkacamata? Apakah kamu masih terus lebih tinggi daripada aku. Apakah kamu
masih suka menjahiliku dengan membawa anak kucing. Banyak sekali potongan masa
lalu tentang kita singgah di otakku demi mendapat gambaran bagaimana rupamu
sekarang. 11 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah perpisahan.
Sepertinya kamu telah menjadi sosok yang dewasa dan tampan sekarang. Atau malah
sebaliknya?
*****
“Pak, agak cepat dong taksinya. Saya
kasih uang tip deh nanti”
“Aduh neng, bukannya nggak mau tapi
neng liat sendiri kan sekarang lagi macet nih.”
“Tapi diusahakan cepet ya pak, udah
telat nih”
Entah setan kangen tingkat apa yang
merasukiku sekarang. aku mengiyakan ajakannya. Aku tak lagi memikirkan apakah
benar surat itu dari dia atau tidak, dan apakah dia bercanda atau tidak. Aku
sudah merelakan satu jam waktuku untuk sekedar berdandan. Yah, atasan baby doll
warna hijau toska dengan bawahan rok bawah lutut warna senada dan flat shoes
putih semoga saja membuatku lebih terlihat feminine dan dewasa di hadapannya.
Akhirnya tiba juga. Taman ini masih
sepi. Sejuk dan berangin. Sangat hijau dan cocok untuk berjalan-jalan.
Suasananya tak begitu ramai. Hanya ada beberapa anak kecil bermain bola dan….
Hey! Apakah itu dia? Tepat di pinggir taman, di bawah pohon terdapat seorang
cowok berdiri dengan motor gede-nya yang berwarna biru. Cowok yang memakai sweater
cokelat dan syal hitam.
Langkahku semakin mendekat. Sayangnya
aku datang dari balik punggungnya, sehingga tidak bisa melihat dia dari depan.
Dia cukup tinggi dan perawakannya tegap dan mantap. Aku masih ragu untuk
memanggilnya hingga cowok itu menoleh sebelum sepatah kata pun terbuka dari
mulutku untuk memanggilnya. Mataku menatapnya, matanya juga menatapku. Astaga,
dia ternyata….
“Kak Rama?? Apa yang kakak lakuin di
sini?”
*****
BERSAMBUNG.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komennya :)