Selasa, 15 November 2011

Masa Lalu yang Datang Kembali--Part III(habis)



Masa Lalu yang Datang Kembali--Part III(habis)



         Aku tak menyangka. Keget. Syok malah. Sepertinya aku salah orang. Apa aku permisi lalu pulang atau….
            “Kakak sedang menunggu seseorang, yang beberapa hari lalu mendapat kiriman surat yang menyuruhnya pergi ke tempat ini” kata kak Rama sambil menatap langit sore dengan samar-samar. Aku pun terguncang.
            “Maksud kakak surat ini?” aku pun menunjukkan surat itu. Rasa kaget di dadaku belum juga usai.
            “Emm, mari ikut aku!”
            “Ke mana kak? Mana dia? Kenapa yang datang malah kakak?” tanyaku penasaran. Aku pun merasakan keanehan sedang terjadi.
            “Dia siapa?”, sepertinya dia kebingungan dengan pertanyaanku.
            “Pengirim surat ini…” ucapku menjelaskan.
            Alisnya meninggi sebelah menyiratkan sejuta tanda tanya. Ia lantas tersenyum dengan tatapan mata mengandung sejuta arti menatapku.
            “Mari ikut aku, dan kau pun akan mengerti”
            Aku tak mengerti. Motor kak Rama terus melaju hingga keluar dari kota Jakarta.
Kira-kira membutuhkan waktu satu jam untuk menempuhnya dengan kecepatan sedang. Dan kami turun ke suatu tempat. Aku terus mengikuti kak Rama yang berjalan duluan di depanku. Dia berhenti secara tiba-tiba. Hampir saja aku menubruk punggungnya.
            “Kita sudah sampai” katanya pelan.
            “Ehh? Mana dia? Mana Ivan?” mataku terus mencari seseorang di situ. Tapi di tempat ini tak ada siapa-siapa selain kami. Kak Rama menatapku.
            “Dia di sana….” Kata kak Rama sambil memandang suatu tempat. Aku mengikuti pandangan matanya dan….
            Tak mungkin! Kak Rama pasti bercanda! Mana mungkin Ivan-ku….
            Aku segera berlari sambil menuju tumpukan batu yang bertuliskan sebuah nama.. Oh, tidak! Semoga ukiran di batu itu tidak bertuliskan…
            I V A N.
            Oh, Tuhan! Apalagi ini? Mungkinkah nisan ini berbohong? Tak mungkin dia meninggal. Dia tak punya penyakit apapun, dia tak bersikap sakartis yang membuat orang lain ingin membunuhnya. Dia….
            Tak sadar aku mulai menangis dan mulai lemas. Untung ada sebuah tangan yang sigap merangkulku. Kak Rama. Aku sudah hampir lupa ada manusia lain di sini selain aku. Aku tak mau menangis sebenarnya, tapi air mata ini terus mengalir tanpa seijinku. Aku menangis dipelukannya.
            “Nggak usah menangis, jangan cengeng… Aku tak menyangka kamu selemah ini. Dasar cengeng…. Hey, hentikan tangismu, bajuku mulai basah nih”
            Aku tak menyangka kak Rama setega ini padaku. Apa dia tak tahu betapa lemahnya hatiku saat ini?
            “Hey, sudah gadis poni. Apa yang kamu tangisi? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak menangis?”
            “…”
            “Untuk apa kamu menangisi Ivan yang dulu membuatmu menangis dan terjatuh di selokan hingga aku harus menggendongmu pulang, hah?”
            “…”
            “Hey, begitu bodohnya kah kamu hingga kamu lupa ada dua Ivan saat kamu kecil?”
            Ehh? Aku mendongakkan kepalaku. Dua Ivan? Ivan seorang laki-laki dan Ivan seekor kucing yang sering membuatku menangis. Oh my God! Aku mendongakkan kepala, menatap kak Rama. Semoga dia tak tertawa melihatku dengan mata sembab. Ah, ternyata dia malah tersenyum manis sekali. Angin sore ini menerbangkan rambut spike nya yang turun karena tak memakai gel.
            “Ivan yang meninggal tadi adalah seekor kucing yang dulu sering kubawa untuk menakutimu, seekor kucing yang pernah membuatmu terperosok di selokan hingga aku menggendongmu dari rumah.”
            “…”
            “Salah siapa coba, yang dulu menamai seekor kucing sialan itu dengan nama yang sama dengan namaku?”, ucapnya lembut masih manatap mataku yang basah.
            “Jadi kakak adalah….”
            “Iya, aku Ivan masa kecilmu..”
            “Bagaimana bisa? Dan kenapa kakak tahu kalau ini aku?” aku masih ta percaya dengan kejadian yang super-duper-ajaib pangkat dewa ini.
            “Hahahhaa, jangan bingung,bodoh! Remember? Namaku Irfan Wahyu Ramadan. Dulu kau memanggilku Ivan, sekarang di kampus teman-teman memanggilku Rama. Apa kau lupa? Aku panitia ospekmu. Aku punya data-data mahasiswa baru di sini. Siapa sangka, nama Kiky Claudia Spica Virgo tiba-tiba ada dalam list kampus ini?”, ucapnya dengan nada yang sakartis.
            “Dan kakak langsung tahu kalau dia aku?” mataku membelo manja.
            “Memangnya ada lagi orang dengan susunan nama seperti itu selain kamu, hah?!”
            Aku tersenyum malu. “Terus, kenapa kakak membawaku ke sini, menemui Ivan lain yang sudah mati?” aku langsung memasang muka ngambek.
            “Karena…. Aku sudah 11 tahun tak melihatmu menangis. Hahahaa”, dia ketawa lepas.
            Aku memukul-mukul dadanya dengan kedua tanganku. Menjengkelkan sekali dia. Dan dia malah memelukku. Erat.
            “Aku menyayangimu, Claudia…”
            “Stop memanggilku Claudia!” Dan dia pun mencubit pipiku sembari tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komennya :)