Masa
Lalu yang Datang Kembali--Part III(habis)
Aku
tak menyangka. Keget. Syok malah. Sepertinya aku salah orang. Apa aku permisi
lalu pulang atau….
“Kakak sedang menunggu seseorang,
yang beberapa hari lalu mendapat kiriman surat yang menyuruhnya pergi ke tempat
ini” kata kak Rama sambil menatap langit sore dengan samar-samar. Aku pun
terguncang.
“Maksud kakak surat ini?” aku pun
menunjukkan surat itu. Rasa kaget di dadaku belum juga usai.
“Emm, mari ikut aku!”
“Ke mana kak? Mana dia? Kenapa yang
datang malah kakak?” tanyaku penasaran. Aku pun merasakan keanehan sedang
terjadi.
“Dia siapa?”, sepertinya dia
kebingungan dengan pertanyaanku.
“Pengirim surat ini…” ucapku
menjelaskan.
Alisnya meninggi sebelah menyiratkan
sejuta tanda tanya. Ia lantas tersenyum dengan tatapan mata mengandung sejuta
arti menatapku.
“Mari ikut aku, dan kau pun akan
mengerti”
Aku tak mengerti. Motor kak Rama
terus melaju hingga keluar dari kota Jakarta.
Kira-kira membutuhkan waktu satu jam untuk menempuhnya dengan kecepatan sedang. Dan kami turun ke suatu tempat. Aku terus mengikuti kak Rama yang berjalan duluan di depanku. Dia berhenti secara tiba-tiba. Hampir saja aku menubruk punggungnya.
Kira-kira membutuhkan waktu satu jam untuk menempuhnya dengan kecepatan sedang. Dan kami turun ke suatu tempat. Aku terus mengikuti kak Rama yang berjalan duluan di depanku. Dia berhenti secara tiba-tiba. Hampir saja aku menubruk punggungnya.
“Kita sudah sampai” katanya pelan.
“Ehh? Mana dia? Mana Ivan?” mataku
terus mencari seseorang di situ. Tapi di tempat ini tak ada siapa-siapa selain
kami. Kak Rama menatapku.
“Dia di sana….” Kata kak Rama sambil
memandang suatu tempat. Aku mengikuti pandangan matanya dan….
Tak mungkin! Kak Rama pasti
bercanda! Mana mungkin Ivan-ku….
Aku segera berlari sambil menuju
tumpukan batu yang bertuliskan sebuah nama.. Oh, tidak! Semoga ukiran di batu
itu tidak bertuliskan…
I V A N.
Oh, Tuhan! Apalagi ini? Mungkinkah
nisan ini berbohong? Tak mungkin dia meninggal. Dia tak punya penyakit apapun,
dia tak bersikap sakartis yang membuat orang lain ingin membunuhnya. Dia….
Tak sadar aku mulai menangis dan
mulai lemas. Untung ada sebuah tangan yang sigap merangkulku. Kak Rama. Aku sudah
hampir lupa ada manusia lain di sini selain aku. Aku tak mau menangis
sebenarnya, tapi air mata ini terus mengalir tanpa seijinku. Aku menangis
dipelukannya.
“Nggak usah menangis, jangan
cengeng… Aku tak menyangka kamu selemah ini. Dasar cengeng…. Hey, hentikan
tangismu, bajuku mulai basah nih”
Aku tak menyangka kak Rama setega
ini padaku. Apa dia tak tahu betapa lemahnya hatiku saat ini?
“Hey, sudah gadis poni. Apa yang
kamu tangisi? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak menangis?”
“…”
“Untuk apa kamu menangisi Ivan yang
dulu membuatmu menangis dan terjatuh di selokan hingga aku harus menggendongmu
pulang, hah?”
“…”
“Hey, begitu bodohnya kah kamu
hingga kamu lupa ada dua Ivan saat kamu kecil?”
Ehh? Aku mendongakkan kepalaku. Dua
Ivan? Ivan seorang laki-laki dan Ivan seekor kucing yang sering membuatku
menangis. Oh my God! Aku mendongakkan kepala, menatap kak Rama. Semoga dia tak
tertawa melihatku dengan mata sembab. Ah, ternyata dia malah tersenyum manis
sekali. Angin sore ini menerbangkan rambut spike nya yang turun karena tak
memakai gel.
“Ivan yang meninggal tadi adalah
seekor kucing yang dulu sering kubawa untuk menakutimu, seekor kucing yang
pernah membuatmu terperosok di selokan hingga aku menggendongmu dari rumah.”
“…”
“Salah siapa coba, yang dulu menamai
seekor kucing sialan itu dengan nama yang sama dengan namaku?”, ucapnya lembut
masih manatap mataku yang basah.
“Jadi kakak adalah….”
“Iya, aku Ivan masa kecilmu..”
“Bagaimana bisa? Dan kenapa kakak
tahu kalau ini aku?” aku masih ta percaya dengan kejadian yang
super-duper-ajaib pangkat dewa ini.
“Hahahhaa, jangan bingung,bodoh!
Remember? Namaku Irfan Wahyu Ramadan. Dulu kau memanggilku Ivan, sekarang di
kampus teman-teman memanggilku Rama. Apa kau lupa? Aku panitia ospekmu. Aku
punya data-data mahasiswa baru di sini. Siapa sangka, nama Kiky Claudia Spica
Virgo tiba-tiba ada dalam list kampus ini?”, ucapnya dengan nada yang sakartis.
“Dan kakak langsung tahu kalau dia
aku?” mataku membelo manja.
“Memangnya ada lagi orang dengan
susunan nama seperti itu selain kamu, hah?!”
Aku tersenyum malu. “Terus, kenapa
kakak membawaku ke sini, menemui Ivan lain yang sudah mati?” aku langsung
memasang muka ngambek.
“Karena…. Aku sudah 11 tahun tak
melihatmu menangis. Hahahaa”, dia ketawa lepas.
Aku memukul-mukul dadanya dengan
kedua tanganku. Menjengkelkan sekali dia. Dan dia malah memelukku. Erat.
“Aku menyayangimu, Claudia…”
“Stop memanggilku Claudia!” Dan dia
pun mencubit pipiku sembari tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komennya :)